NIM: 05111001049
Jurusan: Agribisnis
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
semoga bermanfaat :)
MASALAH
–MASALAH TANAH PERTANIAN
1. Masalah Kemasaman Tanah
Didalam
tanah yang ber-pH rendah yang menjadi masalah utama adalah kelarutan Al, Fe, Mn dan unsur mikro lainnya yang cukup
tinggi, yang bersifat toksik atau racun pada tanaman. Selain itu akan terjadi
interaski antara ion Al dan P dimana Al akan mengikat P tanah maupun dari pupuk
dalam bentuk persenyawaan. Alumunium didalam
tanah berasal dari pelarutan mineral silikat. Ion Al3+ sangat
reaktif didalam larutan tanah. Ion alumunium akan selalu terhidrolisis
membentuk komplek Al (OH)6 pada reaksi dibawah ini:
Al3+ + H2O ---------- Al(OH)3 + 3 H+
Pengapuran
adalah istilah pertanian yang digunakan untuk menyatakan penambahan bahan kapur
dari senyawa oksida, hidroksida atau carbonat dan magnesium (Mg) didalam tanah.
Jumlah Al-dd dan yang terlarut dalam air tanah menghambat pertumbuhan, didalam
hal ini ditetapkan jumlahnya menurut reaksi:
Liat- Al + K+ ___________ Liat- K
Al3+
Al3+ + 3 H2O _______
Al(OH)3 + 3 H+
H + + OH- _______ H2 O
Al(OH)3 + 6 F- _______
AlF63+ +
3 OH-
OH-
+ H+ _______ H2O
Tanah menjadi
asam karena kelebihan ion hidrogen menggantikan kation yang sifatnya basa. Prosesnya menjadi reversible bila kapur (Ca
dan Mg) ditambahkan. Dengan cara aksi
massa, Ca dan Mg mengganti kembali kedudukan ion-ion hidrogen dan Al. Al itu berasal dari mineral-mineral yang
larut dalam keadaan masam. Sedangkan
hidrogen berasal dari asam-asam yang banyak sekali sumbernya (air hujan, pupuk,
masam, eksudat akar, dsb).
Dua masalah
utama tanah adalah keracunan Al dan kejenuhan Al yang terlalu tinggi. Keracunan Al langsung melukai akar tanaman,
menghambat pertumbuhannya, dan menghalangi pengambilan serta translokasi
kalsium maupun fosfor. Kejenuhan Al yang
ada sangat tergantung pada tanaman. Ion
OH- yang dihasilkan segera menetralkan H+ dan Al3+,
sehingga pH tanah dpat mengikat dan Al mengendap sebagai aluminium hidroksida,
kompleks jerapan yang bebas dari Al dapat diisi oleh kation. Kation dari Ca
dari kapur atau kation-kation lain yang berasal dari pupuk atau mineral.
2. Degradasi Tanah
Degradasi tanah pada
umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor alami dan akibat faktor campur
tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh ulah manusia maupun
karena ganguan alam, semakin lama semakin meningkat. Lahan subur untuk
pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sebagai akibatnya
kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang
memerlukan infut tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan yang
berkualitas (Mahfuz, 2003).
Menurut Firmansyah
(2003) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng
curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor
degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak
langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan
populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan
lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan
ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.
Lima faktor penyebab
degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu :
deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, ekploitasi berlebihan, serta
aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab tanah
terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain : deforestasi, mekanisme
dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman
secara monokultur (Lal, 2000). Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya
terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan
degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah
ditolerenkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran
akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali (Firmansyah, 2003).
Umumnya faktor-faktor
penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan
kerusakan dan penurunan produktivitas tanah. Pada sistem usaha tani tebas dan
bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera agar
tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Secara khusus
disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan
populas terhdap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat
mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga sangat merusak dan menyebabkan
degradasi tanah dan lingkungan. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa setelah
5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al
tinggi, dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun kebakaran.
Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya
konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong
penurunan produksi tanaman (Firmansyah, 2003).
Pengaruh antropogenik
terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan
untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk
pembuatan bata merah sangat besar. Akibat penimbunan permukaan tanah dengan
tanah galian sumur tambnag emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status
hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro
(Hidayati, 2000).
Laju deforestrasi di
Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun, sedangkan luas lahan kritis pada awal
tahun 2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha (Dephut, 2003). Deforstasi
mengakibatkan penuruna sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa
deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan
nitrat) menurun. Degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan
tanah untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya
biotan tanah dan memburuknya sifat fisik dan kimia tanah.
Dibandingkan tanah non
terdegradsai, maka terdegradasi lebi rendah 38% C organik tanah, 55% lebih
rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomass mikroba, 44% lebih
rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14%
pasir. Nilai pH non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi.
Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih
rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 percobaan
(Firmansyah, 2003).
Kebakaran hutan
seringkali terjadi di Indonesia, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan
pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003). Kebakaran menyebabkan
perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue
menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat. Selama itu terjadi
penurunan Cadd dan meningkatkan kejenuhan Al. Penggunaan warna tanah
setelah kebakaran untuk menduga kesuburan tanah sangat terbatas, sebab
kesuburan tanah berubah lebih cepat darpada warna tanah (Firmansyah, 2003).
Kebakaran juga menyebabkan meningkatnya ammonium, P tersedia, Na+, K+,
Mg2+, menurunya nitrat, KTK dan Ca2+, serta bahan organik,
sedangkan erosi akibat kebakaran dapat berkisar sekitar 56 dan 45 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan tanah tidak terbakar masing-masing pada intensitas
tinggi dan sedang (Garcia et a.l, 2000.)
3.Masalah
Air
Sumberdaya air dapat mengakibatkan
kerusakan dan bencana di muka bumi. Bencana alam yang terkait dengan sumberdaya
air antara lain banjir, kekeringan, pencemaran air tanah, dan tsunami. Pada
Tahun 1991-2000 terdapat lebih dari 665.000 manusia meninggal dunia dalam 2.557
kejadian bencana alam. Dimana 90% diantaranya terkait dengan air (Unesco,
2003). Meningkatnya konsentrasi manusia dan meningkatnya infrastruktur pada
daerah-daerah rawan seperti pada dataran banjir dan daerah pesisir serta pada
daerah-daerah lahan marginal mengindikasikan bahwa terdapat banyak populasi
yang hidup dalam tingkat resiko tinggi (Abramotivz, 2001). Banjir merupakan
bencana alam terbesar berkaitan dengan air. Fenomena bencana banjir merupakan
salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Banjir terjadi karena beberapa hal; pertama, terjadinya penggundulan hutan dan
rusaknya kawasan resapan air di daerah hulu. Seperti diketahui bahwa daerah
hulu merupakan kawasan resapan yang berfungsi untuk menahan air hujan yang
turun agar tidak langsung menjadi aliran permukaan dan melaju ke daerah hilir,
melainkan ditahan sementara dan sebagian airnya dapat diresapkan menjadi
cadangan air tanah yang memberikan kemanfaatan besar terhadap kehidupan ekologi
dan ekosistem (tidak hanya manusia). Tindakan penebangan hutan dan perusakan
daerah hulu tidak terlepas dari sebuah alasan untuk memenuhi kebutuhan
materialitas manusia.
Kedua, beralih fungsinya penggunaan
lahan di daerah hulu dari kawasan pertanian dan budidaya menjadi kawasan
permukiman dan kawasan terbangun juga mengakibatkan aliran permukaan yang lebih
besar ketika hujan turun. Aliran permukaan yang besar akan menyebabkan
terjadinya banjir apabila kapasitas daya tampung saluran sungai dan drainase
tidak mencukupi. Fenomena perkembangan permukiman juga tidak dapat dielakkan lagi
seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.Ketiga, banjir
juga disebabkan oleh terjadinya pendangkalan di saluran sungai dan drainase
akibat terjadinya erosi di daerah hulu. Dengan demikian kapasitas daya tampung
menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir. Keempat,
banjir juga tidak luput dari perilaku manusia dan dampak dari pembangunan fisik
perkotaan. Banyak kawasan terbuka menjadi kawasan terbangun. Daerah terbuka
yang dulunya bermanfaat menjadi kawasan peresapan sekarang semakin berkurang.
Implikasinya tidak ada lagi atau sangat sedikit sekali air hujan yang dapat
diresapkan kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, dan sebagian besar di
alirkan sebagai aliran permukaan sehingga kapasitas saluran drainase terutama
di kawasan perkotaan menjadi tidak memadai. Kelima, tidak adanya kesadaran dan
kepekaan lingkungan dari perilaku masyarakat. Kegiatan pembuangan sampah dan
limbah padat industri menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyumbatan
aliran sungai (Marfai, 2005).
Selain banjir, kekeringan juga
merupakan bencana alam terkait dengan sumberdaya air. Kekurangan sumberdaya air
dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) Kekeringan meteorologis yaitu keadaan
suatu wilayah pada saat-saat tertentu terjadi kekurangan (defisit) air karena
hujan lebih kecil daripada nilai evapotranspirasinya (penguapan air). Di
wilayah ini terjadi kekurangan air pada musim kemarau sehingga masyarakat sudah
terbiasa dan menyesuaikan aktivitasnya dengan iklim setempat. Hanya saja,
penyimpangan musim masih dapat terjadi. Penyimpangan inilah yang sering
menimbulkan bencana kekeringan. 2) Kekeringan hidrologis merupakan gejala
menurunnya cadangan air (debit) sungai, waduk-waduk dan danau serta menurunnya
permukaan air tanah sebagai dampak dari kejadian kekeringan. Keberadaan hutan
perlu dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menyimpan air cukup. Dan 3)
Kekeringan pertanian, kekeringan muncul karena kadar lengas tanah di bawah
titik layu permanen dan dikatakan tanaman telah mengalami cekaman air
(Bakosurtanal dan PSBA UGM, 2002).
Implikasi dari bencana kekeringan
terhadap pertanian adalah berupa kegagalan panen. Sebagai contoh, gagal panen
yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disebabkan minimnya curah
hujan melanda 117 kecamatan mencakup 1.108 desa di 16 kabupaten/kota. Jumlah
penduduk korban gagal panen mencapai 101.973 kepala keluarga (KK) atau 452.920
jiwa (Indomedia, 2005). Di berbagai daerah di Indonesia, terutama bagian timur,
yang curah hujannya relatif lebih rendah dibandingkan di bagian barat, maka
pada musim kemarau panjang lebih sering terkena bencana kekeringan, gagal panen
dan gizi buruk.
4. Masalah
pengelolaan tanah masam dan pengapuran
a. Potensi Tanah Masam
Potensi tanah masam di Indonesia sangatlah besar. Pada
umumnya tanah di Indonesia didominasi oleh ordo tanah Ultisol (Podsolik Merah
Kuning) dengan pH 4 – 5. Tanah ultisol merupakan tanah yang umumnya diusahan sebagai
lahan pertanian baik itu pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering.
Tanah ultisol sendiri mempunyai luas hingga 38,437 juta Ha di Indonesia.
Sehingga pada umumnya tanah masam merupakan tanah yang tersedia untuk lahan
pertanian di Indonesia.
b. Masalah Tanah Masam
Masalah tanah masam sangat kompleks. Mulai dari
kandungan hara hingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Masalah yang umumnya
terjadi pada tanah masam antara lain :
- Terakumulasinya ion H+ pada tanah sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
- Tingginya kandungan Al3+ sehingga mearcun bagi tanaman.
- Kekurangan unsur hara Ca dan Mg
- Kekurangan unsur hara P karena terikat oleh Al3+
- Berkurangnya unsur Mo sehingga proses fotosintesis terganggu, dan
- Keracunan unsur mikro yang memiliki kelarutan yang tinggi pada ranah masam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar