Senin, 04 Februari 2013

MASALAH –MASALAH TANAH PERTANIAN

Nama : Yolanda Eva Agustina Samosir
NIM: 05111001049
Jurusan: Agribisnis
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

semoga bermanfaat :)



MASALAH –MASALAH TANAH PERTANIAN

1. Masalah Kemasaman Tanah
Didalam tanah yang ber-pH rendah yang menjadi masalah utama adalah kelarutan  Al, Fe, Mn dan unsur mikro lainnya yang cukup tinggi, yang bersifat toksik atau racun pada tanaman. Selain itu akan terjadi interaski antara ion Al dan P dimana Al akan mengikat P tanah maupun dari pupuk dalam bentuk persenyawaan. Alumunium didalam tanah berasal dari pelarutan mineral silikat. Ion Al3+ sangat reaktif didalam larutan tanah. Ion alumunium akan selalu terhidrolisis membentuk komplek Al (OH)6 pada reaksi dibawah ini:
Al3+ + H2O ----------   Al(OH)3  +  3 H+
Pengapuran adalah istilah pertanian yang digunakan untuk menyatakan penambahan bahan kapur dari senyawa oksida, hidroksida atau carbonat dan magnesium (Mg) didalam tanah. Jumlah Al-dd dan yang terlarut dalam air tanah menghambat pertumbuhan, didalam hal ini ditetapkan jumlahnya menurut reaksi:
Liat- Al  +  K+       ___________    Liat- K  Al3+
Al3+   +  3 H2O    _______    Al(OH)3  +  3 H+
H +  +   OH-         _______    H2 O
Al(OH)3   + 6 F-  _______    AlF63+     + 3 OH-
OH-   +  H+          _______    H2O

Tanah menjadi asam karena kelebihan ion hidrogen menggantikan kation yang sifatnya basa.  Prosesnya menjadi reversible bila kapur (Ca dan Mg) ditambahkan.  Dengan cara aksi massa, Ca dan Mg mengganti kembali kedudukan ion-ion hidrogen dan Al.  Al itu berasal dari mineral-mineral yang larut dalam keadaan masam.  Sedangkan hidrogen berasal dari asam-asam yang banyak sekali sumbernya (air hujan, pupuk, masam, eksudat akar, dsb).

Dua masalah utama tanah adalah keracunan Al dan kejenuhan Al yang terlalu tinggi.  Keracunan Al langsung melukai akar tanaman, menghambat pertumbuhannya, dan menghalangi pengambilan serta translokasi kalsium maupun fosfor.  Kejenuhan Al yang ada sangat tergantung pada tanaman.  Ion OH- yang dihasilkan segera menetralkan H+ dan Al3+, sehingga pH tanah dpat mengikat dan Al mengendap sebagai aluminium hidroksida, kompleks jerapan yang bebas dari Al dapat diisi oleh kation.  Kation dari Ca dari kapur atau kation-kation lain yang berasal dari pupuk atau mineral.

2. Degradasi Tanah
Degradasi tanah pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh ulah manusia maupun karena ganguan alam, semakin lama semakin meningkat. Lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang memerlukan infut tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas (Mahfuz, 2003).
Menurut Firmansyah (2003) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.
 Lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu : deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, ekploitasi berlebihan, serta aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain : deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur (Lal, 2000). Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah ditolerenkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali (Firmansyah, 2003).
Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas tanah. Pada sistem usaha tani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Secara khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populas terhdap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga sangat merusak dan menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi, dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun kebakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman (Firmansyah, 2003).
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambnag emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro (Hidayati, 2000).
Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun, sedangkan luas lahan kritis pada awal tahun 2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha (Dephut, 2003). Deforstasi mengakibatkan penuruna sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun. Degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan tanah untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya biotan tanah dan memburuknya sifat fisik dan kimia tanah.
Dibandingkan tanah non terdegradsai, maka terdegradasi lebi rendah 38% C organik tanah, 55% lebih rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomass mikroba, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi. Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 percobaan (Firmansyah, 2003).
Kebakaran hutan seringkali terjadi di Indonesia, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003). Kebakaran menyebabkan perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat. Selama itu terjadi penurunan Cadd dan meningkatkan kejenuhan Al. Penggunaan warna tanah setelah kebakaran untuk menduga kesuburan tanah sangat terbatas, sebab kesuburan tanah berubah lebih cepat darpada warna tanah (Firmansyah, 2003). Kebakaran juga menyebabkan meningkatnya ammonium, P tersedia, Na+, K+, Mg2+, menurunya nitrat, KTK dan Ca2+, serta bahan organik, sedangkan erosi akibat kebakaran dapat berkisar sekitar 56 dan 45 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tidak terbakar masing-masing pada intensitas tinggi dan sedang (Garcia et a.l, 2000.)
3.Masalah Air
Sumberdaya air dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana di muka bumi. Bencana alam yang terkait dengan sumberdaya air antara lain banjir, kekeringan, pencemaran air tanah, dan tsunami. Pada Tahun 1991-2000 terdapat lebih dari 665.000 manusia meninggal dunia dalam 2.557 kejadian bencana alam. Dimana 90% diantaranya terkait dengan air (Unesco, 2003). Meningkatnya konsentrasi manusia dan meningkatnya infrastruktur pada daerah-daerah rawan seperti pada dataran banjir dan daerah pesisir serta pada daerah-daerah lahan marginal mengindikasikan bahwa terdapat banyak populasi yang hidup dalam tingkat resiko tinggi (Abramotivz, 2001). Banjir merupakan bencana alam terbesar berkaitan dengan air. Fenomena bencana banjir merupakan salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Banjir terjadi karena beberapa hal; pertama, terjadinya penggundulan hutan dan rusaknya kawasan resapan air di daerah hulu. Seperti diketahui bahwa daerah hulu merupakan kawasan resapan yang berfungsi untuk menahan air hujan yang turun agar tidak langsung menjadi aliran permukaan dan melaju ke daerah hilir, melainkan ditahan sementara dan sebagian airnya dapat diresapkan menjadi cadangan air tanah yang memberikan kemanfaatan besar terhadap kehidupan ekologi dan ekosistem (tidak hanya manusia). Tindakan penebangan hutan dan perusakan daerah hulu tidak terlepas dari sebuah alasan untuk memenuhi kebutuhan materialitas manusia.
Kedua, beralih fungsinya penggunaan lahan di daerah hulu dari kawasan pertanian dan budidaya menjadi kawasan permukiman dan kawasan terbangun juga mengakibatkan aliran permukaan yang lebih besar ketika hujan turun. Aliran permukaan yang besar akan menyebabkan terjadinya banjir apabila kapasitas daya tampung saluran sungai dan drainase tidak mencukupi. Fenomena perkembangan permukiman juga tidak dapat dielakkan lagi seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.Ketiga, banjir juga disebabkan oleh terjadinya pendangkalan di saluran sungai dan drainase akibat terjadinya erosi di daerah hulu. Dengan demikian kapasitas daya tampung menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir. Keempat, banjir juga tidak luput dari perilaku manusia dan dampak dari pembangunan fisik perkotaan. Banyak kawasan terbuka menjadi kawasan terbangun. Daerah terbuka yang dulunya bermanfaat menjadi kawasan peresapan sekarang semakin berkurang. Implikasinya tidak ada lagi atau sangat sedikit sekali air hujan yang dapat diresapkan kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, dan sebagian besar di alirkan sebagai aliran permukaan sehingga kapasitas saluran drainase terutama di kawasan perkotaan menjadi tidak memadai. Kelima, tidak adanya kesadaran dan kepekaan lingkungan dari perilaku masyarakat. Kegiatan pembuangan sampah dan limbah padat industri menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyumbatan aliran sungai (Marfai, 2005).
Selain banjir, kekeringan juga merupakan bencana alam terkait dengan sumberdaya air. Kekurangan sumberdaya air dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) Kekeringan meteorologis yaitu keadaan suatu wilayah pada saat-saat tertentu terjadi kekurangan (defisit) air karena hujan lebih kecil daripada nilai evapotranspirasinya (penguapan air). Di wilayah ini terjadi kekurangan air pada musim kemarau sehingga masyarakat sudah terbiasa dan menyesuaikan aktivitasnya dengan iklim setempat. Hanya saja, penyimpangan musim masih dapat terjadi. Penyimpangan inilah yang sering menimbulkan bencana kekeringan. 2) Kekeringan hidrologis merupakan gejala menurunnya cadangan air (debit) sungai, waduk-waduk dan danau serta menurunnya permukaan air tanah sebagai dampak dari kejadian kekeringan. Keberadaan hutan perlu dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menyimpan air cukup. Dan 3) Kekeringan pertanian, kekeringan muncul karena kadar lengas tanah di bawah titik layu permanen dan dikatakan tanaman telah mengalami cekaman air (Bakosurtanal dan PSBA UGM, 2002).
Implikasi dari bencana kekeringan terhadap pertanian adalah berupa kegagalan panen. Sebagai contoh, gagal panen yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disebabkan minimnya curah hujan melanda 117 kecamatan mencakup 1.108 desa di 16 kabupaten/kota. Jumlah penduduk korban gagal panen mencapai 101.973 kepala keluarga (KK) atau 452.920 jiwa (Indomedia, 2005). Di berbagai daerah di Indonesia, terutama bagian timur, yang curah hujannya relatif lebih rendah dibandingkan di bagian barat, maka pada musim kemarau panjang lebih sering terkena bencana kekeringan, gagal panen dan gizi buruk.
4. Masalah pengelolaan tanah masam dan pengapuran
a. Potensi Tanah Masam
Potensi tanah masam di Indonesia sangatlah besar. Pada umumnya tanah di Indonesia didominasi oleh ordo tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning) dengan pH 4 – 5. Tanah ultisol merupakan tanah yang umumnya diusahan sebagai lahan pertanian baik itu pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering. Tanah ultisol sendiri mempunyai luas hingga 38,437 juta Ha di Indonesia. Sehingga pada umumnya tanah masam merupakan tanah yang tersedia untuk lahan pertanian di Indonesia.
b. Masalah Tanah Masam
Masalah tanah masam sangat kompleks. Mulai dari kandungan hara hingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Masalah yang umumnya terjadi pada tanah masam antara lain :
  1. Terakumulasinya ion H+ pada tanah sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
  2. Tingginya kandungan Al3+ sehingga mearcun bagi tanaman.
  3. Kekurangan unsur hara Ca dan Mg
  4. Kekurangan unsur hara P karena terikat oleh Al3+
  5. Berkurangnya unsur Mo sehingga proses fotosintesis terganggu, dan
  6. Keracunan unsur mikro yang memiliki kelarutan yang tinggi pada ranah masam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar